Jumat, 10 Mei 2013

Seberapa Besar Peranan Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan


Melihat dan berinteraksi dengan anak-anak jaman sekarang, terkadang mencengangkan. Dari sikap ataupun perilaku dan reaksi mereka terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Terkadang terlalu berlebihan, terkadang sangat cuek dan tidak mau tau dengan apa yang terjadi. Gambaran yang sangat memprihatinkan bagi generasi dimasa datang. Sebenarnya apa dan siapa yang salah ? Kita tidak tau, dan tidak dapat saling menyalahkan. Karena memang kita tidak tau secara pasti dan jelasnya…..

Menurut saya pribadi, hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya,  moral, dan  budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi.  Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat sekolah dasar dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti. Menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Menurut pendapat saya idealnya pada sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Seperti di Negara Jepang misalnya, pendidikan sekolah dasar  selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar. Disana empat kali dalam seminggu mewajibkan bagi siswa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Siswa tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah disana.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak. Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak. Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter.  Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar. Dengan dasar filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.
Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana...
Semoga dapat bermanfaat bagi kita para orang tua....


Inspirasi by "friends"

7 komentar:

  1. Bener banget je...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener apa nich he.he.he.he... :)

      Hapus
    2. he.he.he...
      Memang sich benar dan tidaknya adalah relatif, tergantung darimana kita memandang...
      Semoga bisa menambah wawasan saja....

      trima kasih

      Hapus
  2. Setuju sekali untuk uraian diatas, akhir-akhir ini kemajuan jaman tidak diimbangi oleh karakter yang kuat, sehingga bisa kita lihat sendiri fenomena-fenomena yg terjadi di negara ini seperti yang dicontohkan diatas.
    Pendidikan merupakan alat terpenting untuk membentuk generasi unggul, namun sangat disayangkan sekali bila sekarang pendidikan hanya didominasi oleh materi-materi untuk mengasah intelegensia saja tanpa diimbangi oleh materi untuk membentuk kecerdasaan emosi dan spiritual seorang anak. Sehingga anak hanya tahu bagaimana untuk membuat pisau tanpa tahu bagaimana cara yang baik untuk memanfaatkannya. Maka ditengah kondisi ini, peran keluarga menjadi sangatlah penting dalam pendidikan moral tersebut. Dengan membuat seorang anak menjadi percaya dan nyaman dengan kita keluarganya, menjaga kepercayaan itu dan memberikan kepercayaan juga bagi si anak. Bila anak sudah merasa percaya dan nyaman pada kita, maka si anak akan terbuka dengan kita, sehingga kita tahu bagaimana harus mengarahkan dan membimbing si anak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mufid Azizi..
      Hal itulah yang mendorong saya untuk mengemukakan hal tersebut diatas, mungkin bagi kita ini merupakan sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi mungkin bagi sebagian orang ini adalah sebuah kemajuan yang hasilnya bisa segera diketahui. Tidak perduli bagaimana caranya yang penting sudah dapat menggapai target/harapan yang ada. Dan jika bisa, tanpa proses tetapi sekali sentuh langsung tercapai/terjadi he.he.he... mie instant aja yg notabene sudah jelas instant masih memerlukan proses memasak sebelum bisa dinikmatin he.he.he.he... atau mungkin dengan satu mantra bim salabim...langsung tercapai targetnya he.he.he... klo yg beginian balik ke jaman bahula lagi donk.... :)
      Apapun itu dan bagaimana caranya, masing2 orang memiliki cara untuk mencapai target yang diharapkan. Setidaknya jika kita tau cara yang lebih baik dan memiliki efek yang baik pula, tidak ada salahnya mempelajarinya. Agar tidak tercetak penerus2 instant yang tidak bermoral dan humanis...
      Terima kasih...

      salam,
      dwh

      Hapus
  3. Keren dah pokoknya...lanjut!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Om Darminto,
      He..he..he... belajar mengemukakan pendapat dari sudut pandang orang yang memiliki sekelumit waktu bergelut dengan anak2 itu...
      Matur nuwun... :)

      Hapus